Selasa, 09 April 2013

INTERNALISASI NILAI – NILAI PANCASILA SEBAGAI FONDASI RESTORASI KEBIJAKAN EKONOMI – POLITIK INDONESIA BERBASIS KERAKYATAN

Artikel ini ditulis untuk lomba debat politik ceria IPB 2012 bersama Indra Diki Dewantara dan M. Agus Nurkholis


Politik dan ekonomi merupakan dua bahasan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perjalanan perkembangan politik dan ekonomi di berbagai Negara di belahan dunia pun mengalami banyak pembedaan makna tergantung pada ideologi yang dianut oleh suatu Negara, seperti paham sosialis-komunis, kaptilais, dan liberalisme. Begitu pula dengan Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai ideology, landasan Negara, sumber hokum, pandangan hidup bangsa, dan nilai – nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, derasnya pengaruh globalisasi yang sedikit demi sedikit meruntuhkan nilai-nilai pacasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara di Indonesia membuat kehidupan di dalamnya pun sudah tidak lagi mencerminkan nilai-nilai pancasila yang sesungguhnya, termasuk dalam bidang ekonomi dan politik sebagai pilar penting suatu Negara.
Seiring dengan perkembangan zaman, kondisi ekonomi-politik di Indonesia semakin memperihatinkan. Diawali dengan ketidakjelasan sistem yang semakin berbelit – belit, “proyek kebijakan” yang mengatas namakan rakyat, hingga faktor eksternal yang tidak mampu dikendalikan oleh bangsa Indonesia sendiri. Besarnya pengaruh golabalisasi pasca reformasi, telah merubah nilai-nilai fundamental ekonomi yang berpihak kepada para pengusaha “bedompet tebal” dan membunuh ekonomi kerakyatan. Fenomena demikian pun terjadi dalam kehidupan politik Indonesia yang saat ini syarat akan manipulasi dan “birokrasi persaudaraan”. Pun lebih jauh, penetapan-penatapan kebijakan yang kurang sensitif terhadap situasi dan kondisi masyarakat membuat keadaan politik dan ekonomi di indonesia sulit untuk disesuaikan dengan kebijakan yang tepat.


Pembangunan sistem politik dan ekonomi di Indonesia yang sedang dikampanyekan dewasa ini sayangnya tidak lagi berbasis pada kerakyatan. Banyak sekali penyimpangan – penyimpangan yang telah dilakukan oleh elit politik bahkan yang dilegalkan dalam konstitusi Indonesia pascaamandemen, seperti halnya semakin menguatkan peran DPR yang apabila kita mau menelisik lebih jauh, “tirani” dari DPR ini sesungguhnya dapat dengan mudah menghancurkan Negara ini dan menyuburkan praktik manipulasi karena kewenangan DPR yang lebih besar dari lembaga negara lainnya. Ambilah sebagai contoh sederhana, menurut UUD 1945 hasil amandemen, DPR mempunyai akses kekuasaan legislative yang nyaris tak terbatas terlebih dengan keanggotaan yang mayoritas berada di MPR. Dengan memikian DPR dapat saja merubah UUD sekalipun mengingat MPR memang benar memiliki kewenangan untuk merubah UUD.
Dalam bidang ekonomi, keragaman dan varietas komoditi pasar lokal yang dulu sering menghiasi pinggir-pinggir jalan dan pasar tradisional, kini semakin sulit untuk ditemukan karena keberadaan mereka sebagai wujud nyata ekonomi kerakyatan sudah tersingkirkan perlahan oleh keberadaan komoditi impor yang menggusur produk lokal, serta oleh menjamurnya berbagai pasar modern dari mulai supermarket, hingga hypermarket. Dengan kondisi tersebut terjadi ketimpangan nasib dan keadaan antara kejayaan ekonomi kerkayatan di masa lalu dan nasib para pedagang kecil dengan para pengusaha besar. Hal ini juga memcerminkan lemahnya kebijakan proteksi kepada para produsen local dan produsen rumah tangga yang ada di Indonesia. Hal ini dapat saja dihindari apabila elit penguasa mau lebih tanggap kepada pengusaha local daripada memenuhi perijinan dari pengusaha asing yang sebenarnya mematikan bangsa sendiri.
Selain karena kurangnya perhatian pada saudara sendiri, pemerintahpun terkadang terkesan terlalu terburu – buru dalam mengambil kebijakan yang menyangkut kehidupan ekonomi bahkan menyangkut hal – hal yang berefek multidimensional. Contoh konkret yang baru saja kita semua hadapi adalah kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebenarnya kebijakan yang diambil adalah demi kepentingan rakyat tetapi karena situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas ekonominya belum stabil, sehingga mereka merasa keberatan apabila Bahan Bakar Minyak dinaikkan sebesar 30%. Kebijakan untuk menaikkan harga BBM bukanlah suatu solusi yang solutif dalam menghadapi permasalahan kelangkaan Minyak Dunia. Seharusnya pemerintah lebih mengembangkan maksimalisasi enegri alternative, sehingga masyarakat bisa meminimalisir pengeluaran sehari-harinya. Pemerintah juga harus bisa menekan pengeluaran untuk kepentingan dinas dan “studi banding” lainnya.
Ketidakjelasan sistem dan kebijakan juga terjadi dalam bidang politik yang mengalami pergeseran pola perilaku para politikus dan fungsi partai politiknya. Dimana saat ini banyak sekali kader atau politikus parpol yang berkualitas rendah yang justru banyak dari mereka itu menempati posisi-posisi penting sebagai pengambil kebijakan, baik dari jabatan anggota DPR/DPRD maupun bupati/walikota. Sehingga tidak heran apabila saat ini banyak sekali kebijakan yang dinilai kurang tepat sasaran dan juga kinerja mereka di sejumlah daerah yang menyimpang dan tidak mencerminkan aspek keterwakilan rakyat dalam posisi mereka itu. Mulai dari perilaku KKN, usulan RAPBD yang tidak masuk akal, hingga putusan kebijakan-kebijakan yang hanya berpihak pada sejumlah pihak atau golongan yang bukan sama sekali untuk rakyat.
Dari hal tersebut, selanjutny diasumsikan bahwa di Indonesia saat ini sangatlah berat untuk menciptakan kebijakan yang prorakyat. Oleh karena itu, kondisi ekonomi politik Indonesia saat ini dapat dikatakan tidak lagi berasaskan kerakyatan melainkan kebijakan yang syarat akan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dari hal ini seharusnya di adakan revitalisasi kebijakan dan pendidikan karakter yang antikorup pada para pemimpin dan calon – calon pemimpin Indonesia. Pengembalian sistem dan segala bentuk tindakan pemerintah yang didasarkan pada kontrak bangsa Indonesia di awal kemerdekaan (UUD 1945) dan diarahkan pada nilai-nilai luhur Pancasila juga harus dijadikan fondasi revitalisasi kebijakan yang ada agar dapat menjadi pedoman dan pandangan bagi para Policy maker. Hal tersebut pun telah ada dalam setiap silanya.
Sila pertama, dalam sila ketuhana yang Maha Esa terkandung nilai bahwa Negara yang didirikan adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Negara, politik Negara, perekonomian, pemerintahan dll, harus dijiwai nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pembangunan bidang politik dan ekonomi haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, agar dalam implemetasinya terdapat nilai-nilai moral yang saling menguntungkan satu sama lain, dan bukan untuk saling menjatuhkan dengan cara-cara yang dilarang Tuhan, sehingga dengan adab serta perilaku politik ekonomi yang berdsarakan pada aspek Ketuhanan yang Maha Esa dapat tercipta suasana budaya politik dan ekonomi yang berbasis pada kerakyatan pula.
Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dalam sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa Negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Dalam kehidupan kenegaraan harus senantiasa dilandasi oleh moral kemanusiaan antara lain kehidupan pemerintahan Negara, politik, ekonomi, hokum, social, budaya, pertahanan dan keamanan serta dalam kehidupan keagamaan. Dalam sila kedua ini juga jelas disebutkan mengenai adanya pembelaan terhadap hak-hak manusia dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Sehingga pembangunan ekonomi dan politik pun juga harus memperhatikan hak-hak asasi manusia, dengan tidak semena-mena dalam melakukan keberpihakan kepada para pangusaha besar saja, namun haruslah tetap memperhatikan masyarakat kecil dalam bidan eknonomi. Begitu pula dalam pembangunan politik, setiap putusan kebijakan dan perilaku para politikus haruslah mencerminkan keterwakilan rakyat dan berperilaku yang layak sebagai wakil rakyat.
Sila ketiga, Perstuan Indonesia mengandung nilai bahwa Negara memberikan kebebasan atas individu, golongan, suku ras, maupun glolngan agama untuk merealisasikan seluruh potensinya dalam kehidupan bersama yang bersifat integral. Berdasarkan pengertian tersebut, maka makna persatuan juga harus diterapkan dalam pembangunan ekonomi dan politik agar dapat berbasis kerakyatan. Dengan tidak adanya eksklusifitas terhadap golongan yang mampu saja, namun golongan masyarakat rendahnya hendaknya juga diperhatikan dan diperjuangkan hak-hak dan spirasinya, sehingga tercipta suatu pemerataan pembangunan. Sehingga hak-hak dasar maysarakat dapat terakomodir dan dipertimbangkan melalui bidang politiknya (input), dan dapat terimplemestasikan dalam keadaan yang sesungguhnya/kenyataanya melalui bidang ekonominya (output).
Sila keempat, kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Di dalam sila keempat ini, Negara dituntut untuk bersikap demokratis dalam menjalankan fungsinya sebagai wadah bagi masyarakat untuk hidup bermasyarakat yang adil, aman, dan sejahtera. Dalam konsep sila keempat ini, terkandung suatu makna bahwa sebenarnya Negara juga mempunyai peranan untuk meciptakan kehidupan yang berbasis kerakyatan dengan cara-cara musyawarah mufakat, tidak dengan pengambilan keputusan secara sepihak atau individualis. Negara menjadi penopang dalam terwujudnya pembangunan ekonomi dan politik yang berbasis kerakyatan karena Negara mempunyai fungsi kontrol terhadap situasi perekonomian dan juga sikap politiknya, walaupun dalam hal ini kaitannya dengan sikap politik luar negeri yang bebas aktif, namun juga tetap berlaku di dalam negeri dengan ketentuan yang sudah di atur dalam UUD dan UU, misalnya mengenai Pemilu, Partai Politik, dll.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Nilai-nilai keadilan dalam sila kelima haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk meweujudkan tujuan Negara yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya serta melindungi seluruh wilayahnya, mencerdaskan, seluruh warganya. Jadi, dalam sila kelima ini pembangunan kehidupan politik dan ekonomi yang berbasisi kerakyatan jelaslah harus bersifat adil agar tercipta kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, dengan kembali melihat inti setiap sila dalam pancasila yang menjadi dasar ideologi bangsa Indonesia maka sebenarnya kehdiupan politki dan ekonomi yang terjadi ialah berbasis kerakyatan. Pemaknaan ini jelas akan berbeda dengan ideologi lain seperti sosialis-komunis ataupun kapitalis dan liberalism yang merujuk pembangunan kehidupan ekonomi politik yang berbasis pada suatu ekslusifitas golongan atau kelompok tertentu. Dengan mampu menginternalisasikan nilai- nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka segala kebijakan yang dibuatpun akan berlandaskan pada cita – cita luhur bangsa Indonesia sendiri yang kesemuanya itu untuk kepentingan rakyat. 

0 komentar:

Posting Komentar