Kamis, 14 November 2013

KEBIJAKAN LCGC, DALAM KONTEKS BISNIS DAN POLITIK

Kebijakan mobil murah ramah lingkungan yang keluarkan oleh pemerintah pada trimester ketiga tahun 2013 ini menuai banyak pro dan kontra. Sebagian pihak menilai bahwa penetapan kebijakan ini tidak sesuai dengan beberapa program dan target terdahulu yang telah ditetapkan oleh pemerintah sendiri. Misalnya target pengurangan emisi CO2 Indonesia sebanyak 26 persen di tahun 2030, serta program penyediaan sarana transportasi missal murah. Namun pada kenyataannya  mobil yang menjadi penyumbang polusi terus diperjualbelikan bahkan saat ini dihargai murah. Selain itu, program penyediaan transportasi missal murah juga dapat terhambat karena masyarakat rata – rata memiliki mobil yang konon murah itu dan infrastruktur jalan pun telah penuh sesak oleh kendaraan – kendaraan pribadi.
Sementara di sisi lain, pemerintah beralasan bahwa penetapan kebijakan murah ramah lingkungan ini tidak lain agar semua masyarakat Indonesia, termasuk mereka yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah, dapat menikmati haknya untuk memiliki kendaraan pribadi. Kebijakan yang dituangkan dalam Perpres No. 41 Tahun 2013 ini diyakini pemerintah sebagai kebijakan yang pro-poor. Melalui kebijakan ini pemerintah berusaha untuk mengakomodasi hasrat seluruh masyarakat Indonesia untuk bisa memiliki mobil pribadi.
Namun, bila ditelisik lebih jauh, nyatanya tidak semua rakyat miskin di Indonesia mementingkan kepemilikan kendaraan pribadi mobil. Banyak tokoh berpendapat bahwa yang lebih mereka butuhkan adalah sembako, bukan mobil. Kebijakan ini lantas dinilai sebagai kebijakan yang menghina rakyat Indonesia sendiri. Kebijakan ini juga dinilai lebih menguntungkan investor asing dari pada rakyat Indonesia. Dengan adanya kebijakan ini, maka perusahaan – perusahaan mobil asing akan berlomba – lomba memproduksi mobil murah untuk dipasarkan ke Indonesia. Sementara di sisi lain, hal ini berarti mematikan industry mobil nasional yang belakangan ini sedang digadang – gadang oleh beberapa pihak termasuk pemerintah.
Melihat dinamika dari kebijakan di atas, dilihat dari pola hubungan antara bisnis dan politiknya, maka menurut saya kebijakan ini mencerminkan pola hubungan Statisme. Pola hubungan statisme adalah suatu pola hubungan antara bisnis dengan politik di mana Negara menjadi penentu kebijakan ekonomi negaranya. Dalam hal ini Negara mengintervensi segala macam bentuk kegiatan ekonomi suatu Negara. Bahkan Negara juga menentukan masalah investasi baik domestic maupun asing, masalah perizinan, perburuhan, hingga yang paling ekstrem adalah Negara juga menentukan produk apa saja yang harus diproduksi oleh suatu industry atau perusahaan. System statisme ini biasanya diterapkan oleh Negara – Negara yang sedang mengejar ketertinggalan dari Negara lain. Menurut mereka yang menggunakan system ini, Negara harus mengintervensi kegiatan ekonomi sebagai indicator dari pertumbuhan agar segala kegiatan ekonomi yang dilakukan dapat terarah dan tepat sasaran. Namun, apabila system ini terlalu diagungkan lama kelamaan justru akan menimbulkan apa yang disebut dengan predatory state, intervensi yang dilakukan Negara bukan lagi menguntungkan rakyatnya melainkan justru menjadi predator bagi negaranya sendiri dengan berbagai permasalahan yang ditimbulkan.

Dalam konteks kebijakan mobil ramah lingkungan, terlihat jelas bahwa penyusunan kebijakan ini adalah kebijakan yang datangnya dari level atas Top Down Policy. Pemerintah mengatur pola investasi industry otomotif dengan mengizinkan masuknya mobil – mobil murah ke Indonesia, tanpa didahului jejak pendapat dari masyarakat atau setidaknya para ahli terkait. Potret kebijakan mobil murah ramah lingkungan ini menunjukan daya upaya Indonesia yang sedang mengejar ketertinggalan dari Negara – Negara lain melalui peningkatan jumlah kepemilikan mobil pribadi. Sayangnya upaya yang digagas pemerintah ini banyak dibatantah oleh beberapa pihak. Banyak pihak yang beranggapan bahwa untuk menjadi Negara maju, bukanlah kepemilikan mobil pribadi yang menjadi ukuran, melainkan bagaimana masyarakat kaya mau menggunakan transportasi murah missal yang disediakan pemerintah. Jika kenyataannya seperti yang kita lihat sekarang ini, maka kebijakan mobil murah ini merupakan sebuah kebijakan yang salah sasaran serta maksud intervensi pemerintah dalam bidang ini justru menjadikan Negara sebagai predator negaranya sendiri.