okay karena saya bingung mau post apaan, ini saya post hasil tugas saya sendiri aja deh...ini di matakuliah Study Legislasi
check it out ::
Setback Theories Study Legislasi
. Teori Sumber Kekuasaan / Legitimasi :
1. Teori Teokrasi
Asal / Sumber kekuasaan adalah dari Tuhan. Teori ini
berkembang pada jaman pertengahan, yaitu abad V sampai pertengahan abad XV.
Peganut teori ini antara lain Augustinus,
Thomas Aquinas dan Marsilius.
2. Teori Hukum Alam
Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari
rakyat. Dimuai dari kaum monarkomaken yang dipelopori oleh Johannes Althusius, telah mengatakan bahwa kekuasaan itu berasal
dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada pada rakyat ini tidak lagi dianggap
dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat
ini diserahkan kepada seseorang, yang disebut raja, untuk menyelenggarakan
kepentingan masyarakat.
(Sumber : Soehini, SH, Ilmu Negara,
1998, hlm. 149-150)
Teori Pemegang Kekuasaan Tertinggi /
Kedaulatan
3. Teori Kedaulatan Tuhan
Teori ini berkembang pada abad pertengahan. Menurut
teori ini kekuasaan tertinggi ada pada
Tuhan atau dengan lain perkataan kekuasaan
tertinggi adalah dimiliki oleh Tuhan.
Dalam perkembangannya teori ini sangat erat
hubungannya dengan perkembangan agama baru yang timbul pada saat itu, yaitu
agama Kristen (Katholik) yang kemudian diorganisir dalam suatu organisasi
keagamaan, yaitu gereja, yang dikepalai oleh seorang Paus.
4. Teori Kedaulatan Negara
Para penganut teori inimenyatakan bahwa kedaulatan
tertinggi itu bukan pada tangan Tuhan, tetapi dimiliki oleh negara. Negaralah
yang menciptakan hokum, jadi segala sesuatu harus tunduk pada negara. Negara di
sini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan – peraturan
hokum. Oleh karena itu, adanya hokum itu karena adanya negara, dan tiada satu
hukumpun yang berlaku jika tidak dikehendaki
oleh negara. Penganut teori ini antara lain adalah Jean Bodin dan George Jellinek.
5. Teori Kedaulatan Hukum
Menurut teori ini yang memiliki bahkan merupakan
kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hokum itu sendiri. hal ini
dikarenakan baik raja maupun rakyat, bahkan negara itu sendiri tunduk kepada
hokum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut
hokum. Jadi menurut Krabbe yang berdaulat adalah hokum.
Karena yang berdaulat adalah hokum, maka Krabbe
menjelaskan bahwa sumber hokum adalah rasa hokum yang terdapat pada dalam
masyarakat itu sendiri. rasa hokum ini dalam bentuknya yang masih sederhana,
jadi yang masih bersifat primitive atau yang tingkatannya masih dalam instink
hokum, sedang dalam bentuknya yang lebih luas disebut dengan kesadaran hokum.
Jadi menurut Krabbe hokum itu tidak timbul akibat
kehendak negara, dan dia memberikan kepada hulum suatu kepribadian sendiri.
selain itu hokum juga berlaku terlepas dari kehendak negara.
6. Teori Kedaulatan Rakyat
Teori ini menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada
di tangan rakyat. Hal ini sejalan dengan konsep demokrasi yang menitik beratkan
pada keterlibatan rakyat dalam proses berpemerintahan.
Teori ini antara lain diikuti oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa
tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hokum dan menjamin kebebasan para
warga negaranya. Kebebasan ini ialah kebebasan dalam konteks yang sesuai
dengan batasan – batas perundang – undangan, sedangkan undang – undang disini
yang berhak membuatnya adalah rakyat. Oleh karena itu, undang – undang
sebenarnya adalah jelmaan dari kehendak dan aspirasi rakyat. Jadi rakyatlah
yang mewakili kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
(Sumber : Soehini, SH, Ilmu Negara,
1998, hlm. 152-161)
Teori Hubungan Antarnegara
7. Teori Ketergantungan
Teori ketergantungan muncul dari kalangan yang berada
dalam rangka teori – teori kiri. Kelompok ini mengkhususkan penelitiannya pada
hubungan antara dunia ketiga dan dunia pertama. Kelompok ini menarik perhatian
besar pada tahun 1970=an dan tahun 180-an, tetapi sebenarnya pemikiran tentang
hal ini sudah dirintis sejak tahun 1960-an antara lain oleh Paul Baran yang kemudian disusul oleh Andre Gunder Frank.
Bertolak dari konsep Lenin mengenai imperialism,
kelompok ini berpendapat bahwa imperaisme
masih hidup, tapi dalam bentuk lain yaitu dominasi ekonomi dari negara – negara
kaya terhadap negara – negara yang kurang maju. Negara – negara maju
(penjajah) tersebut memang telah melepaskan tanah jajahannya, namun tetap
mengendalikan roda perekonomian negara yang dijajah tadi.
(Sumber : Miriam Budiarjo, Dasar –
Dasar Ilmu Politik, 2008, hlm. 90)
Teori Kelembagaan
8. Institusionalisme Baru
Menurut Scott (2008: 36), teori kelembagaan baru
(neoinstitutional theory) adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan
kelembagaan baru dalam mempelajari sosiologi organisasi. Akar teoritisnya
berasal dari teori kognitif, teori kultural, serta fenomenologi dan
etnometodologi. Scott merumuskan kelembagaan sebagai: “institution are
comprised of regulative, normative and cultural-cognitive elements that,
together with associated activities and resources, provide stability and
meaning to social life” (Scott, 2008: 48).
Kelembagaan menyediakan pedoman dan sumber daya untuk
bertindak, sekaligus batasan-batasan dan hambatan untuk bertindak. Fungsi
kelembagaan adalah untuk tercapainya stabilitas dan keteraturan (order), tapi
mereka pun berubah. Kelembagaan adalah property sekaligus proses. Dalam
pendekatan kelembagaan baru dipelajari apa tipe-tipe dan bentuk-bentuk
kelembagaan yang mendorong lahirnya organisasi formal. Hal ini berkaitan dengan
hambatan struktural dan kultural (kontrol) versus kemampuan atau keberanian
individu untuk bertindak kreatif (make difference).
Lebih jauh, Scott (2008) menjelaskan tentang adanya 3
pilar dalam perspektif kelembagaan baru. Pertama, pilar regulatif (regulative
pillar), yang berkerja pada konteks aturan (rule setting), monitoring, dan
sanksi. Hal ini berkaitan dengan kapasitas untuk menegakkan aturan, serta
memberikan reward and punishment. Cara penegakkannya melalui mekanisme informal
(folkways) dan formal (polisi dan pengeadilan). Meskipun ia bekerja melalui
represi dan pembatasan (constraint), namun disadari bahwa kelembagaan dapat
memberikan batasan sekaligus kesempatan (empower) terhadap aktor. Aktor yang
berada dalam konteks ini dipandang akan memaksimalkan keuntungan, karena itulah
kelembagaan ini disebut pula dengan kelembagaan regulatif (regualtive
institution) dan kelembagaan pilihan rasional (rational choice instituion).
Kedua, pilar normatif (normative pillar) dengan
tokohnya adalah Durkheim, Parson, dan Selznick. Dalam pandangan ini, norma
menghasilkan preskripsi, bersifat evaluatif, dan menegaskan tanggung jawab
dalam kehidupan sosial. Dalam pilar ini dicakup nilai (value) dan norma. Norma
berguna untuk memberi pedoman pada aktor apa tujuannya (goal dan objectives),
serta bagaimana cara mencapainya. Karena itu, bagian ini sering pula disebut
dengan kelembagaan normatif (normatif institution) dan kelembagaan historis
(historical instituionalism). Inilah pula yang sering disebut sebagai teori
”kelembagaan yang asli”.
Ketiga, pilar kultural-kognitif (cultural-cognitive
pillar) dengan tokohnya adalah Geertz, Douglass, Berger dan Luckmann, Goffman,
Meyer, DiMaggio, Powel, dan juga Scott. Inti dari pilar ini adalah bahwa
manusia berperilaku sangat ditentukan oleh bagaimana ia memaknai (meaning)
dunia dan lingkungannya. Manusia mengalami sedimentasi makna dan kristalisasi
makna dalam bentuk objektif. Aktor (individu dan organisasi) mengalami proses
interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural eksternal, dalam
memaknai lingkungan sebagai situation shared secara kolektif. Dalam konteks
ini, diyakini aktor memiliki makna yang sangat variatif, sehingga kreativitas
aktor dihargai. Bagian ini sering disebut dengan kelembagaan sosial (social
institution).
(Sumber : Miriam Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, 2008, hlm.
96; )
E.
Teori
Tentang Demokrasi
9. Teori Demokrasi Klasik
Demokrasi, dalam pengertian klasik, pertama kali
muncul pada abad ke-5 SM tepatnya di Yunani. Pada saat itu pelaksanaan
demokrasi dilakukan secara langsung, dalam artian rakyat berkumpul pada suatu
tempat tertentu dalam rangka membahas pelbagai permasalahan kenegaraan.
Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari pemikiran
aliran yang dikenal berpandangan a
tree partite classification of state yang membedakan bentuk negara
atas tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai bentuk negara
kalsik-tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles,
Polybius dan Thomas Aquino.nPrinsip dasar demokrasi klasik adalah penduduk
harus menikmati persamaan politik agar mereka bebas mengatur atau memimpin dan
dipimpin secara bergiliran.
10. Teori Civic Virtue
Pericles adalah negarawan Athena yang berjasa
mengembangkan demokrasi. Prinsip-prinsip pokok demokrasi yang dikembangkannya
adalah
a.
Kesetaraan warga negara
b.
Kemerdekaan
c.
Penghormatan terhadap hukum dan keadilan
d.
Kebajikan bersama
Prinsip kebajikan bersama menuntut setiap warga
negara untuk mengabdikan diri sepenuhnya untuk negara, menempatkan kepentingan
republik dan kepentingan bersama diatas kepentingan diri dan keluarga. Di masa
Pericles dimulai penerapan demokrasi langsung (direct democrazy). Model
demokrasi ini bisa diterapkan karena jumlah penduduk negara kota masih terbatas,
kurang dari 300.000 jiwa, wilayah nya kecil, struktur sosialnya masih sederhana
dan mereka terlibat langsung dalam proses kenegaraan.
11. Teori Social Contract
Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh
pemikiran Zaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme,
realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia.
Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan
kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik
dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, Zaman Pencerahan ini adalah
koreksi atau reaksi atas zaman sebelumnya, yaitu Zaman Pertengahan. Walau
demikian, pemikiran-pemikiran yang muncul di Zaman Pencerahan tidaklah semuanya
baru. Seperti telah disinggung di atas, teori kontrak sosial yang berkembang
pada Zaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh
pemikir-pemikir zaman-zaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang jelas
adalah bahwa pada Zaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal
kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.
Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari,
dan membahas tentang kontrak sosial dalam analisis-analisis politik
mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan
dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa
mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan
selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu
mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun di dalam
praksinya.
Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke
dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep
kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.
Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi
alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang
dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih
dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang
punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain.
Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.
Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak
istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan
tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh
kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan
dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau mengedepankan
konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari
hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak
harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the
‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality
of the ‘object’ sought).
12. Teori trias politica
Trias politica atau teori mengenai pemisahan
kekuasaan, di latar belakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah
pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan
harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian
diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin.
Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis
Montesquieu membagi kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam
negara tidak terpusat pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai
berikut.
a.
Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk
undang-undang.
b. Eksekutif,
yaitu kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
c. Yudikatif,
yaitu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang (mengadili).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu
dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud
kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri.Montesquieu menekankan
bahwa satu orang atau lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan
merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh
karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi,
haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan
terhadap kekuasaan lainnya. Teori inilah yang sekarang dianut oleh Negara
Indonesia
F.
Psikologi
Politik : Teori Konflik dalam Kajian Psikologi Sosial
13. The Realistic Conflict Theory
Konflik terjadi karena adanya kompetisi dalam
permainan, antarkelompok saling mengejek, berkelahi, adanya upaya saling
mengalahkan (win-lose), segala upaya damai dan komunikasi dihambat (autistic
hostility), serta muncullah distorsi persepsi.
14. The Contact Hypothesis Teories
Konflik terjadi karena kegagalan mengenal pihak lain
akibat ketidaktahuan atau tidak adanya informasi yang memadai. Untuk itu
diperlukan adanya kontak, sehingga dapat membuka kesempatan untuk mendapatkan
informasi yang memadai, mengklarifikasi kesalahan persepsi, belajar kembali
berdasarkan informasi yang baru, walaupun tidak semua kontak bisa menyelesaikan
konflik bahkan dapat mempertajam konflik.
15. Teori Identitas Sosial
Setiap individu
memiliki identitas sosial yang berbeda. Identitas sosial dalam hal ini adalah
kesadaran individu bahwa dirinya merupakan anggota dari suatu kelompok
tertentu, yang meliputi kesadaran akan perasaan - perasaan, nilai - nilai
penting bagi dirinya sebagai anggota dari kelompok tersebut. Untuk itulah
identitas sosial menjadi bagian dari konsep diri individu. Identitas sosial itu
bisa berupa kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan individu
menurut negara, ras, kelas sosial, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama,
golongan, dan sebagainya. Identitas sosial tersebut kemudian menjadi penghalang
bagi seseorang untuk bekerjasama dalam suatu kelompok, karena adanya
kepentingan dan latar belakang yang dibawanya. Konflik seringkali terjadi
karena tidak adanya kesamaan persepsi dan kurangnya empati karena setiap
individu yang berkelompok senantiasa mempertahankan identitas sosialnya masing
– masing.
(Sumber : Materi
Perkuliahan Psikologi Politik, Lusia
Astrika, S.IP, M.Si Staff Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP - UNDIP
)
G.
Teori
Komunikasi Politik
16. Teori Khalayak Kepala Batu
Teori ini dikembangkan oleh pakar psikologi, Raymond Beur. Fokus penelitian pada
teori ini adalah komunikan atau khalayak, bukan sekadar komunikator. Para pakar
baik psikologi maupun sosiologi mencurahkan perhatian kepada faktor individu.
Mereka mengkaji faktor – faktor yang membuat individu mau menerima pesan –
pesan komunikasi.
Oleh karena itu, dalam perspektif ini komunikasi
politik tidak digambarkan seperti proses “ban berjalan” antara komunikator
dengan komunikan, melainkan dikonsepstualisasi sebagai penerimaan dan
pengolahan pesan atau informasi pada diri individu. Oleh karena itu, komuniasi
politik dalam perspektif ini berlangsung secara internal dalam diri individu,
yang juga dikenal dengan komunikasi
interpersonal (komunikasi internal) .
(Sumber : Prof.
Dr. Anwar Arifin, Komunikasi Politik, 2011,
hlm 105-107)
.
Teori
Keterwakilan Politik
17. Political Representation Theory
Perwakilan adalah konsep bahwa seseorang atau
kelompok memiliki kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama
kelompok yang lebih besar. Menurut Birch
yang disebut wakit adalah :
a.
Agen atau seseorang yang bertindak demi
menjalankan prinsip yang diyakininya
b.
Seseorang yang memiliki sebaian cirri – cirri
yang sama dari sekelompok orang
c.
Seseorang yang menjadi symbol identitas dan
kualitas dari sekelompok orang
(Sumber : Materi
Perkuliahan Pengantar Ilmu Politik, Lusia
Astrika, S.IP, M.Si Staff Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP - UNDIP
)
I. Teori Sistem Politik
18. Teori David Easton
Menurut Easton,
sistem politik adalah “seperangkat interaksi yang diabstraksi dari totalitas
prilaku sosial, melalui mana nilai-nilai disebarkan untuk suatu masyarakat”. Sistem
politik itu menurut Easton terdiri dari alokasi nilai-nilai. Pengalokasian
nilai-nilai tersebut bersifat paksaan.Pengalokasian tersebut mengikat masyarakat
secara keseluruhan.
Ciri – ciri
sistem politik menurutnya adalah :
a.
Ciri-ciri identifikasi, yaitu sistem politik
dikenali melalui deskripsi atas:
¡ Unit-unit
sistem politik, seperti eksekutif, legislatif, yudikatif.
¡ Batasan,
yaitu peran yang dijalankan mereka sebagai unit sistem politik.
b.
Input dan Output.
c.
Differensiasi dalam suatu sistem.
d.
Integrasi suatu sistem
0 komentar:
Posting Komentar