Santun,
Siapa orang yang tidak tahu kata ini. Santun sangat berkaitan dengan Unggah
Ungguh atau Tindak Tanduk Seseorang. Santun adalah sebuah sikap yang
mencerminkan sisi baik, kalem, bersahaja, “nerimo” meskipun bukan berarti
pasrah, tidak “pecicilan”, sopan, dan yah segala yang baik – baik. Bahkan menurut
saya, santun berada pada posisi atau tangga yang lebih tinggi dari sekadar
sopan.
Kita sudah belajar tentang santun sejak kita
berada di Sekolah Dasar atau bahkan pada saat Taman Kanak Kanak (bagi sebagian
yang mengenyam jenjang ini). Dulu waktu kita SD, maka wujud santun kita
terhadap orang yang lebih tua yang selalu diajarkan disekolah antara lain
adalah mencium tangan orang tua (berpamitan) ketika akan pergi, jalan dengan
sedikit membungkukkan badan terutama bagi cultur
Jawa, menyapa orang yang bertemu, menyebar senyum, dan hal – hal lainnya yang
menunjukkan bahwa kita adalah pribadi yang memiliki kebaikan dan tata karma sempurna.
Hal tersebut memang sangat terpuji.
Namun, kaitannya dengan dunia politik, ternyata
saat ini pun masih ada budaya santun dalam politik Indonesia. Sungguh luar
biasa karena elit politik kita tidak melupakan “budaya santun” ini. Ya, make a
sense, yang saya maksud adalah “budaya politik santun”. Kata – kata itu bisa
saja berkonotasi positif atau negative. Namun sebelum saya menyebutkan konotasi
yang saya maksud mari kita ikuti uraian singkat saya ini.
Politik santun adalah sebuah “gaya” politik baru
yang kini marak diaplikasikan oleh elit politik. Dengan politik ini, maka mereka
selalu berpenampilan menarik, sopan, dan bersahaja untuk tujuan mengumpulkan
suara dukungan dari rakyat. Pasti semua pihak tahu dan hal ini sudah bukan
rahasia lagi. Sewaktu sedang berkampanye maka para kandidat selalu member “janji
manis” bahwa mereka AKAN menyejahterakan seluruh rakyat. Bahkan tidak hanya
pada saat proses pemilihan. Pada saat mereka sudah menjabat sebuah jabatan
politikpun, sikap santun, dan yang selalu berusaha untuk menyenangkan berbagai
pihak tetap mereka lakukan. Meskipun public tak pernah tahu, “something
behind the fact”. Celakanya, sebenarnya demi menjaga “kesantunan” ini
pejabat politik di sana banyak yang memanipulasi data agar seolah – olah rakyat
benar – benar sejahtera dan janji AKAN-nya pun terpenuhi. Sesungguhnya upaya
tersebut tidak lebih dari sebuah bentuk pencitraan yang kurang “smart” menurut
saya. Pencitraan seperti di atas tak ubah sebuah pembodohan dan kebohongan
public yang terlegalkan. Apabila terus menerus dibudidayakan sebaiknya cepat –
cepatlah mengatakan “bye bye Indonesia from global situation”. Hal tersebut
pastinya hanya akan menghambat kemajuan Indonesia. Pemerintah tidak perlu
membohongi masa apabila pada kenyataannya situasi yang mereka hadapi saat ini
memang situasi yang buruk. Dengan memberikan laporan yang salah itu maka
Indonesia akan terbuai dan dininabobokan dengan keadaan yang fiktif yang telah
dipublikasikan sementara pada kenyataannya rakyat masih sangat menderita.
Dari uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa
santun yang di ajarkan pada saat kita SD dengan santun yang dilakukan oleh para
elit politik sangat berbeda pada maksud dan tujuannya. Pencitraan santun yang
terjadi pada para elit ini harus dihentikan apabila santun tersebut disalah
gunakan sebagai tameng bermuka dua dari mereka saja. Karena biasanya dengan
pencitraan santun itu, maka ketika para pejabat dikritik mereka akan
MATI-MATIAN membela citranya saja bukan kepentingan rakyat. All in all, kita
butuh praktik nyata bukan hanya sekadar pencitraan santun. So, buat seluruh
teman – temanku khususnya Ilmu Pemerintahan UNDIP,2011 khusunya, ayo kita harus
bisa jadi pemimpin yang benar – benar pemimpin.
Tulisan ini saya buat di tengah menunggu netbook
saya discan karena virusan dari flasdisk saya. Ditemani nasi goring ber-chicken
stick seharga murah meriah (kurang dari 5000) dan minuman mineral dingin yg
sangat saya idolakan, A*ua. heheee
0 komentar:
Posting Komentar