Kamis, 10 Desember 2015

Mengenal Plato dan Pemikirannya

Salam semangat pembaca...
setelah kemarin beberapa postingan saya adalah tentang pengalaman menjadi awardee beasiswa LPDP, dari mulai seleksi sampai kegiatan karantina Persiapan Keberangkatan (PK), kali ini saya mau sedikit sharing tentang Pemikiran Politik dari Plato. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk pembaca semua, baik yang sedang belajar tentang politik maupun sebagai tambahan ilmu pengetahuan. 

BUT EIIITTTZZZZ...untuk yang menjadikannya sebagai citasi, saya harap banget langsung cari saja sumber aslinya (buku-buku yang saya jadikan rujukan) atau kalau susah mencarinya sertakan link blog ini. terimakasih..

Oke tanpa panjang kata lagi, kita mulai dari sketsa kehidupan Plato hingga Analisis saya terhadap pemikiran plato. FYI, Plato ini merupakan salah satu pemikir dari zaman Yunani Kuno. Dalam setiap pembahaasan mengenai pemikiran politik, baik pemikiran politik barat maupun pemikiran politik Islam, pemikiran Yunani Kuno selalu disinggung. Pemikiran Yunani kuno tidaklah timbul serta merta begitu saja, melainkan didahului oleh pemikiran-pemikiran tentang alam semesta dimana barulah pada akhir abad ke 5 sebelum masehi perhatian ditumpahkan pada masalah-masalah kosmos kecil, yaitu mengenai masalah dunia tempat manusia hidup, hubungan sesama manusia, dan hakikat masyarakat dan negara. Fokus kajian pada masa ini bukanlah tentang pengetahuan-pengetahuan alam, melainkan studi tentang manusia.

·         Sketsa Kehidupan Plato dan Pengaruh Socrates
Plato,  filosof Yunani Kuno yang merupakan keturunan dari keluarga aristocrat Athena, lahir pada tahun 427 sebelum masehi.[1] Ia bukanlah orang pertama yang melakukan kajian mengenai masyarakat dan negara pada zaman Yunani Kuno. Ia adalah salah satu murid dari Socrates, pemikir pendahulu Plato, yang mencoba meneruskan pemikiran gurunya tersebut dan mengabadikannya kedalam tulisan.  Bagi Plato, kematian gurunya itu bukanlah suatu kematian gagasan. Kematian tragis gurunya inilah yang menyebabkan ia melanjutkan hidup sebagai seorang filsuf, sekaliun pada awalnya ia tertarik untuk memasuki bidang politik sebagai karir hidupnya. Plato adalah seseorang yang yang tidak setuju dengan cara-cra pemerintahan demokrasi pada saat itu, karena cara yang demikianlah itu yang membuat gurunya mati dan negaranya, Athena, mengalami kemunduran akibat adanya perebutan kekuasaan antara Athena dan Sparta yang pada akhirnya menghasilkan Sparta sebagai pemenang dalam peperangan Peloponnesos. Berangat dari kehambaran hatinya ini Plato mencoba mencari penawar hati dengan berusaha memikirkan bagaimana sebaiknya mengobati Athena dan negara lain pada umumnya. Pemikiran Plato ini diarahkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi manusia secara konkret dan lebih condong untuk mencari awaban atas apa yang hendak ditetapkan.

Dalam mengembangkan pemikirannya ini, pengaruh Socrates sangat besar dalam kehidupan Plato. Salah satu hal yang sangat terlihat adalah cara Plato dalam menggali pemikirannya, yaitu dengan melakukan dialog seperti “Dialog Socrates” yang dilakukannya dulu semasa hidupnya. Prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai basis filosofis negara ideal Plato pun sama yang dapat dilihat dari pandangannya tentang kebajikan (virtue). Bahkan ajaran Socrates tentang kebajikan dapat dikatakan sebagai suatu pengetahuan yang diterima Plato nyaris secara taken for granted.[2] Guna mengaktualisasikan pemikirannya ini, setelah pengembaraannya ke Sisilia, Italy, Mesir, dan daerah-daerah Timur Tengah lainnya, ia mendirikan sebuah sekolah di Athena yang diberi nama Academia yang tidak membatasi diri pada pengetahuan belaka namun juga menjadikannya sebagai pabrik pembentuk dan penempa orang-orang yang membawa kemajuan untuk Yunani. Ilmu pengetahuan yang diajarkan di academia belum memiliki spesialisasi-spesialisasi tertentu seperti saat ini, melinkan mengenai segaa aspek manusia dan masyarakat secara keseluruhan. Bersamaan dengan didirikannya Academia, Plato pun menerbitkan buku yang berjudul Politeia (Republik) yang dalam arti sebenarnya adalah onstitusi dalam pengertian suatu jalan bagi individu dalam hubungan sesamanya di dalam masyarakat. Republik tidak hanya membahas pemikiran secara teoritis saja, melainkan meliputi tindakan atau ajaran praktis. Tema pokok dalam kitab ini adalah Tentang Keadilan, dimana keadilan dekat dengan kejujuran, pada moral, dan sifat-sifat baik seseorang. Kejujuran menurut plato juga mengenai kesanggupan dan bakat dirinya. Oleh karena itu, keadilan menurut Plato adalah ketika seseorang mampu membatasi dirinya pada kerja dan tempat (fungsi) dalam hidupnya sesuai dengan panggilan kecakapan masing-masing. Dalam konteks negara, keadilan menurut plato adalah kesesuaian antara fungsi dari suatu pihak dan kecakapan serta kesanggupan di pihak lain. Keadilan bukanlah mengenai hak, melankan mengenai tugas dan panggilan hidup.

·         Filosofi Plato Tentang Negara Ideal
Pemikiran Plato dapat digali secara mendalam dengan membedah bukunya yang berjudul Republik. Kitab ini membicarakan masalah manusia sebagai suatu keseluruhan, bahkan hingga hubungannya dengan jagat raya. Secara umum kitab ini dapat dibagi menjadi empat masalah besar yaitu, (1) Metafisika, mengenai apa hakikat segala yang ada di dunia ini, (2) Etika, sikap yang baik dan benar, (3) Pendidikan yang harus dijalani manusia dalam hidup, dan (4) Pemerintahan yang Ideal. Dalam mengonstruksi gambaran negara ideal, Plato membatasi masalahnya hingga diri manusia. Ia menanyakan tentang apakah manusia yang baik itu dan bagaimana ia terwujud. Manusia semacam ini linier dengan sifat negara dan masyarakat Yunani Kuno yaitu manusia dalam masyarakat (=negara). Oleh karena itu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana negara yang baik itu dan bagaiamana mengusahakannya.
Mengilhami apa yang dipikirkan oleh Socrates mengenai manusia yang baik, manusia yang baik adalah ia yang berpengetahuan. Kebajikan merupakan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dikarenakan manusia memiliki sifat yang linier dengan negara maka negara yang baik atau ideal juga adalah negara yang mementingkan kebajikan (virtue/ilmu pengetahuan). Segala sesuatu yang dilakukan oleh negara harus diarahkan untuk mencapai kebajikan. Implikasi dari idealism ini, lembaga ilmu pengetahuan menjadi penting dan sistem pendidikan menjadi cara-cara untuk membangun suatu susunan kehidupan sosial atau masyarakat. Mereka yang berhak menjadi pemimpin suatu negara adalah mereka yang sepenuhnya mengerti tentang kebajikan ini. Seorang penguasa harus memiliki virtue atau berilmu pengetahuan tinggi. Negarawan semacam ini disebutnya sebagai The Philosopher King. Seorang pemimpin haruslah mereka yang tahu. Mereka diibaratkan sebagai seorang dokter yang mengetahui berbagai penyakit dan gejalanya yang ada di masyarakat sehingga penguasa ini memiliki cara yang terbaik dan tepat sasaran untuk mengatatasinya.[3] Dalam menjelaskan mengenai pentingnya kebajikan dan ilmu pengetahuan bagi seorang pemimpin, Plato menjelaskan bahwa salah satu penyebab kemunduran Athena kala itu adalah merajalelanya ketidaktahuan yang berpangkal dari sistem demokrasi yang menempatkan seseorang pada jabatan tertentu tanpa adanya syarat-syarat yang diperlukan, apalagi syarat berilmu pengetahuan yang luhur. Ilmu pengetahuan yang luhur merupakan kunci utama dalam pemikiran Plato. Ia menganalogikan hubungan ilmu pengetahuan dengan manusia seperti layaknya orang yang berada di dalam gua yang kemudian melihat seberkas cahaya matahari. Pada awalnya mereka yang di dalam gua merasa bahwa mereka tahu segalanya, namun ketika ada seseorang yang tahu sebenar tahu setelah melihat cahaya matahari dan kenyataan diluar gua, maka ia harus membagikan pengetahuan itu kepada rekan-rekannya yang ada di Gua agar dapat membawa masyarakat kea rah yang sesungguhnya. Penganalogian ini dikenal dengan Allogory Gua. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa yang paling utama dalam mewujudkan suatu negara ideal menurut Plato adalah mementingkan kebajikan (ilmu Pengetahuan) baik dari tujuan negaranya maupun syarat seorang pemimpinnya.
Selain pentingnya ilmu pengetahuan, hubungan timbal balik dan pembagian kerja secara sosial merupakan prinsip lain dari negara menurut Plato. Menurut Plato, negara muncul karena adanya hubungan saling membutuhkan satu sama lain. Setiap individu tentunya tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain dengan bakat dan kemampuan masing-masing. Oleh karena itu, untuk mencapa perbaikan hidup, Plato pun memberikan sistem pembagian kerja dalam masyarakat ke dalam tiga golongan yang ia analogikan dengan jiwa manusia. Menurut Plato, ada kesamaan antara unsure-unsur yang ada di dalam jiwa dengan negara. Dalam jiwa terdapat untuk keinginan, logos, dan semangat. Begitu pula di dalam negara, unsure unsure ini mewakili pembagian kerja dalam masyarakat. Penguasa, yang duduk sebagai golongan pertama, mengetahui segala macam hal. Merekalah yang mewakili unsure logos. Golongan kedua yaitu golongan penjaga atau pembantu penguasa hadir mewakili unsure semangat. Sedangkan golongan ketiga yang didefinisikan sebagai golongan pekerja hadir untuk mewakili unsure kainginan/nafsu. Masing-masing golongan ini memiliki fungsi dan saling berinteraksi. Interaksi ini lah yang menjadi dasar adanya asosiasi yang menjad pokok suatu negara. Masing-masing golongan inipun harus dapat melaksanakan fungsi dan tanggungjawabnya agar tercipta keadilan menurut konsep Plato.
Selain beberapa hal di atas yang dapat mendukung terwujudnya negara ideal menurut Plato, ia juga mendeskripsikan bagaimana seharsnya kehidupan sosial dalam masyarakat sehingga dapat mencapai negara ideal. Plato merumuskan suatu konsep yang oleh Robert Nisbet disebut sebagai nihilisme sosial. Nihilisme sosial ini dapat pula disebut sebagai komunisme ala Plato. Bagi plato, demi terwujudnya negara ideal, maka kehidupan masyarakat harus di dasarkan pada prinsip larangan atas kepemilikan pribadi, baik dalam bentuk harta atau materi lainnya maupun istri dan anak. Menurut plato adanya kepemilikan pribadi akan mengurangi dedikasi seseorang terhadap negara dan menyebabkan adanya akumulasi kekayaan yang memicu kesenjangan sosial. Selain itu, adanya kepemilikikan pribadi ini dapat menyebabkan penyalahgunaan pemahaman tentang keselarasan yang mana keselarasan disini justru dimaknai sebagai menyamakan kepentingan negara dengan kepentingan pribadi. Begitu pula dengan perihal perkawinan dan anak. Plato menolak perkawinan monogam. Istri menjadi milik kolektif.[4] Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pencampuran kepentingan negara dan pribadi. Kepemilikan akan anak pun demikian, anak dibiarkan dididik oleh negara sampai pada akhirnya ia berilmu dan agar si anak ini menjadi sangat loya pada negara. Konsep komunisme plato ini hanya terbatas pada golongan penguasa dan pembantu penguasa saja. Kelas ketiga dibenarkan memiliki hak milik dan berfamili hal ini dikarenakan merekalah yang bertugas untuk menyelenggarakan perekonomian.

A.                ANALISIS PEMIKIRAN PLATO
Setelah mengetahui intisari dari pemikiran dua fisuf Yunani Kuno di atas, penulis memberikan beberapa analisa sekaligus kritik terhadap beberapa pemikiran di atas yang dikaitkan dengan pemikiran tokoh lain serta kondisi kekinian yang dihadapi bersama oleh masyarakat hampir diseluruh dunia. Yang pertama akan penulis soroti adalah pemikiran plato mengenai kriteria seorang pemimpin dalam negara idealnya. Telah dijelaskan bahwa dalam satu negara yang ideal, pemimpin haruslah mereka yang memiliki virtue atau berilmu pengetahuan tinggi. Pada dasarnya penulis setuju dengan pendapat ini, karena memang seorang pemimpin haruslah mereka yang cakap dan mengerti tentang kondisi serta seluk beluk, baik kondisi maupun masyarakat, yang dipimpinnya. Apalagi jika dikaitkan dengan pendapat para pemikir Islam Klasik dari mulai Al Farabi hingga Ibn Khaldun (kecuali Ibn Taimiyah), maka semua pemikir tersebut juga mensyaratkan adanya dasar ilmu pengetahuan yang tinggi yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Lebih lanjut, Al Farabi sendiri menegaskan bahwa seorang kepala negara harus memiliki akal tingkat mustafad (acquired intellect)  yang telah dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, pengatur bumi ini.[5] Sayangnya penulis melihat masih adanya ketidak sempurnaan persyaratan seorang pemimpin menurut Plato. Plato hanya menekankan pada konsep The Philosopher King, tanpa dijelaskan lebih lanjut mengenai bagaimana kondisi fisik yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Penulis melihat bahwa kondisi fisik seorang pemimpin ini menjadi hal penting lainnya karena seorang pemimpin merupakan simbol sekaligus representasi dari apa yang ia pimpin. Apalagi di era modern ini, sosok seorang pemimpin akan sangat menajdi sorotan tidak hanya di dalam negerinya melainkan juga dalam hubungannya dengan negara lain. Dalam hal kriteria seorang pemimpin penulis lebih setuju dengan persyaratan yang diajukan oleh para pemikir Islam Klasik yang mensyaratkan kesehatan panca indra dari seorang pemimpin. Bahkan dalam teori yang dikonstruksi oleh Al Mawardi, apabila seorang pemimpin memiliki cacat pancaindra, maka umat boleh saja tidak taat kepadanya. Menurut Al Mawardi kesehatan fisik seorang pemimpin ini akan berpengaruh besar terhadap segala kebijakan atau tindakan yang akan ia perbuat dalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya. Dikarenakan pentingnya kesehatan seorang pemimpin yang tidak hanya dimaknai sebagai kesehatan rohani saja melainkan juga kesehatan jasmani, di negara-negara modern saat ini, syarat sehat bagi seorang pemimpin menjadi sangat penting. Dengan demikian menurut hemat penulis, dengan menggabungkan pendapat Plato serta beberapa pemikir Islam klasik tersebut, seorang pemimpin yang ideal adalah mereka yang memilii kebajikan (ilmu pengetahuan) dan kesehatan jasmani karena dengan kesehaan jasmani ini pemimpin dapat mengoperasionalisasikan pengetahuannya kedalam suatu tindakan politik yang nyata, kebijakan pemerintah.
Selain mengenai syarat dari seorang pemimpin di negara ideal, penulis juga melihat adanya kejanggalan tentang konsep nihilism sosial menurut Plato. Plato menciptakan kondisi itu hanya untuk golongan pertama dan kedua, sementara golongan ketiga dibiarkan untuk memiliki hak milih termasuk untuk berfamili sekalipun tetap dalam batasan porsinya. Namun disini penulis melihat bahwa pemikiran plato ini terlalu naïf dan utopis. Menurut analisa penulis, Plato mengemukaka hal ini dikarenakan bagi Plato konsep keadilan adalah berbicara tentang kewajiban bukan hak. Selain itu Plato juga menilai bahwa ilmu (termasuk dalam urusan memikirkan negara digolongkan dalam ilmu) erat kaitannya dengan amal. Dalam dunia nyata, tidak mungkin seseorang di muka bumi ini tidak membutuhkan kompensasi. Apalagi mereka yang berada di golongan satu dan dua adalah mereka yang dekat dengan akses terhadap kekuasaan. Padahal kekuasaan sendiri identik dengan kompetisi untuk mendapatkan, mempertahankan, dan merebut kekuasaan itu. Dengan demikian pastilah ketika berbicara kekuasaan maka akan dengan sendirinya kita juga akan berbicara tentang kompensasi apa yang disediakan baik kekuasaan itu sendiri, maupun dalam bentuk lainnya. Jika dikaitkan dengan Konsep Tiga kebutuhan menurut David McClelland, seorang ahli Psikologi Sosial, yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu membutuhkan Neef Of Achievements (n.Ach), Need Of Power (n.Pow), dan Need of Affiliation (n.Affi), maka konsep nihilism sosial Plato ini tidak sesuai. Dilihat dari satu kebutuhan saja, n.Ach, maka setiap orang pada prinsipnya membutuhkan adanya prestasi atau capaian. Prestasi atau capaian ini kemudian identik dengan bagaimana pengakuan orang lain kompensasi atau penghargaan apa yang didapatkan setelah seseorang berusaha. Dengan demikian, melihat kondisi riil masyarakat saat ini, konsep nihilism sosial dan keadilan ala Plato tidak sepenuhnya sesuai.


**If you have some question don't hesistate to ask via moulizadonna@gmail.com or give comment in this post. Thank you



[1] McDonald. 1962. Western Political Theory Part 1Ancient and Medieval. New York:Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Pg. 6
[2] Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 35-36
[3] Syam, Firdaus. 2007. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 25-27
[4] Suhelmi, Ahmad. Op Cit. Hlm. 40
[5] Iqbal, Muhammad, et al. 2010. Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Prenadameda Group. Hlm. 13-49



0 komentar:

Posting Komentar