Salam semangat pembaca...
setelah kemarin beberapa postingan saya adalah tentang pengalaman menjadi awardee beasiswa LPDP, dari mulai seleksi sampai kegiatan karantina Persiapan Keberangkatan (PK), kali ini saya mau sedikit sharing tentang Pemikiran Politik dari Plato. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk pembaca semua, baik yang sedang belajar tentang politik maupun sebagai tambahan ilmu pengetahuan.
BUT EIIITTTZZZZ...untuk yang menjadikannya sebagai citasi, saya harap banget langsung cari saja sumber aslinya (buku-buku yang saya jadikan rujukan) atau kalau susah mencarinya sertakan link blog ini. terimakasih..
Oke tanpa panjang kata lagi, kita mulai dari sketsa kehidupan Plato hingga Analisis saya terhadap pemikiran plato. FYI, Plato ini merupakan salah satu pemikir dari zaman Yunani Kuno. Dalam setiap pembahaasan mengenai pemikiran
politik, baik pemikiran politik barat maupun pemikiran politik Islam, pemikiran
Yunani Kuno selalu disinggung. Pemikiran Yunani kuno tidaklah timbul serta
merta begitu saja, melainkan didahului oleh pemikiran-pemikiran tentang alam
semesta dimana barulah pada akhir abad ke 5 sebelum masehi perhatian
ditumpahkan pada masalah-masalah kosmos kecil, yaitu mengenai masalah dunia
tempat manusia hidup, hubungan sesama manusia, dan hakikat masyarakat dan
negara. Fokus kajian pada masa ini bukanlah tentang pengetahuan-pengetahuan
alam, melainkan studi tentang manusia.
·
Sketsa
Kehidupan Plato dan Pengaruh Socrates
Plato, filosof Yunani Kuno yang merupakan keturunan
dari keluarga aristocrat Athena, lahir pada tahun 427 sebelum masehi.[1]
Ia bukanlah orang pertama yang melakukan kajian mengenai masyarakat dan negara
pada zaman Yunani Kuno. Ia adalah salah satu murid dari Socrates, pemikir
pendahulu Plato, yang mencoba meneruskan pemikiran gurunya tersebut dan
mengabadikannya kedalam tulisan. Bagi
Plato, kematian gurunya itu bukanlah suatu kematian gagasan. Kematian tragis
gurunya inilah yang menyebabkan ia melanjutkan hidup sebagai seorang filsuf,
sekaliun pada awalnya ia tertarik untuk memasuki bidang politik sebagai karir
hidupnya. Plato adalah seseorang yang yang tidak setuju dengan cara-cra
pemerintahan demokrasi pada saat itu, karena cara yang demikianlah itu yang
membuat gurunya mati dan negaranya, Athena, mengalami kemunduran akibat adanya
perebutan kekuasaan antara Athena dan Sparta yang pada akhirnya menghasilkan
Sparta sebagai pemenang dalam peperangan Peloponnesos. Berangat dari kehambaran
hatinya ini Plato mencoba mencari penawar hati dengan berusaha memikirkan
bagaimana sebaiknya mengobati Athena dan negara lain pada umumnya. Pemikiran
Plato ini diarahkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi manusia secara
konkret dan lebih condong untuk mencari awaban atas apa yang hendak ditetapkan.
Dalam mengembangkan pemikirannya ini, pengaruh Socrates sangat besar
dalam kehidupan Plato. Salah satu hal yang sangat terlihat adalah cara Plato
dalam menggali pemikirannya, yaitu dengan melakukan dialog seperti “Dialog
Socrates” yang dilakukannya dulu semasa hidupnya. Prinsip-prinsip yang
dijadikan sebagai basis filosofis negara ideal Plato pun sama yang dapat
dilihat dari pandangannya tentang kebajikan (virtue). Bahkan ajaran Socrates tentang kebajikan dapat dikatakan
sebagai suatu pengetahuan yang diterima Plato nyaris secara taken for granted.[2]
Guna mengaktualisasikan pemikirannya ini, setelah pengembaraannya ke
Sisilia, Italy, Mesir, dan daerah-daerah Timur Tengah lainnya, ia mendirikan
sebuah sekolah di Athena yang diberi nama Academia
yang tidak membatasi diri pada pengetahuan belaka namun juga menjadikannya
sebagai pabrik pembentuk dan penempa orang-orang yang membawa kemajuan untuk
Yunani. Ilmu pengetahuan yang diajarkan di academia
belum memiliki spesialisasi-spesialisasi tertentu seperti saat ini,
melinkan mengenai segaa aspek manusia dan masyarakat secara keseluruhan.
Bersamaan dengan didirikannya Academia, Plato pun menerbitkan buku yang
berjudul Politeia (Republik) yang dalam arti sebenarnya adalah onstitusi dalam
pengertian suatu jalan bagi individu dalam hubungan sesamanya di dalam
masyarakat. Republik tidak hanya membahas pemikiran secara teoritis saja,
melainkan meliputi tindakan atau ajaran praktis. Tema pokok dalam kitab ini
adalah Tentang Keadilan, dimana keadilan dekat dengan kejujuran, pada moral,
dan sifat-sifat baik seseorang. Kejujuran menurut plato juga mengenai
kesanggupan dan bakat dirinya. Oleh karena itu, keadilan menurut Plato adalah
ketika seseorang mampu membatasi dirinya pada kerja dan tempat (fungsi) dalam hidupnya
sesuai dengan panggilan kecakapan masing-masing. Dalam konteks negara, keadilan
menurut plato adalah kesesuaian antara fungsi dari suatu pihak dan kecakapan
serta kesanggupan di pihak lain. Keadilan bukanlah mengenai hak, melankan
mengenai tugas dan panggilan hidup.
·
Filosofi
Plato Tentang Negara Ideal
Pemikiran
Plato dapat digali secara mendalam dengan membedah bukunya yang berjudul
Republik. Kitab ini membicarakan masalah manusia sebagai suatu keseluruhan,
bahkan hingga hubungannya dengan jagat raya. Secara umum kitab ini dapat dibagi
menjadi empat masalah besar yaitu, (1) Metafisika, mengenai apa hakikat segala
yang ada di dunia ini, (2) Etika, sikap yang baik dan benar, (3) Pendidikan
yang harus dijalani manusia dalam hidup, dan (4) Pemerintahan yang Ideal. Dalam
mengonstruksi gambaran negara ideal, Plato membatasi masalahnya hingga diri
manusia. Ia menanyakan tentang apakah manusia yang baik itu dan bagaimana ia
terwujud. Manusia semacam ini linier dengan sifat negara dan masyarakat Yunani
Kuno yaitu manusia dalam masyarakat (=negara). Oleh karena itu pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana negara yang baik itu dan bagaiamana
mengusahakannya.
Mengilhami apa
yang dipikirkan oleh Socrates mengenai manusia yang baik, manusia yang baik
adalah ia yang berpengetahuan. Kebajikan merupakan ilmu pengetahuan. Dengan
demikian dikarenakan manusia memiliki sifat yang linier dengan negara maka
negara yang baik atau ideal juga adalah negara yang mementingkan kebajikan
(virtue/ilmu pengetahuan). Segala sesuatu yang dilakukan oleh negara harus
diarahkan untuk mencapai kebajikan. Implikasi dari idealism ini, lembaga ilmu
pengetahuan menjadi penting dan sistem pendidikan menjadi cara-cara untuk
membangun suatu susunan kehidupan sosial atau masyarakat. Mereka yang berhak
menjadi pemimpin suatu negara adalah mereka yang sepenuhnya mengerti tentang
kebajikan ini. Seorang penguasa harus memiliki virtue atau berilmu pengetahuan tinggi. Negarawan semacam ini
disebutnya sebagai The Philosopher King.
Seorang pemimpin haruslah mereka yang tahu. Mereka diibaratkan sebagai seorang
dokter yang mengetahui berbagai penyakit dan gejalanya yang ada di masyarakat
sehingga penguasa ini memiliki cara yang terbaik dan tepat sasaran untuk
mengatatasinya.[3]
Dalam menjelaskan mengenai pentingnya kebajikan dan ilmu pengetahuan bagi
seorang pemimpin, Plato menjelaskan bahwa salah satu penyebab kemunduran Athena
kala itu adalah merajalelanya ketidaktahuan yang berpangkal dari sistem
demokrasi yang menempatkan seseorang pada jabatan tertentu tanpa adanya
syarat-syarat yang diperlukan, apalagi syarat berilmu pengetahuan yang luhur.
Ilmu pengetahuan yang luhur merupakan kunci utama dalam pemikiran Plato. Ia
menganalogikan hubungan ilmu pengetahuan dengan manusia seperti layaknya orang
yang berada di dalam gua yang kemudian melihat seberkas cahaya matahari. Pada
awalnya mereka yang di dalam gua merasa bahwa mereka tahu segalanya, namun
ketika ada seseorang yang tahu sebenar tahu setelah melihat cahaya matahari dan
kenyataan diluar gua, maka ia harus membagikan pengetahuan itu kepada
rekan-rekannya yang ada di Gua agar dapat membawa masyarakat kea rah yang
sesungguhnya. Penganalogian ini dikenal dengan Allogory Gua. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
paling utama dalam mewujudkan suatu negara ideal menurut Plato adalah
mementingkan kebajikan (ilmu Pengetahuan) baik dari tujuan negaranya maupun
syarat seorang pemimpinnya.
Selain
pentingnya ilmu pengetahuan, hubungan timbal balik dan pembagian kerja secara
sosial merupakan prinsip lain dari negara menurut Plato. Menurut Plato, negara
muncul karena adanya hubungan saling membutuhkan satu sama lain. Setiap
individu tentunya tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa adanya
bantuan dari orang lain dengan bakat dan kemampuan masing-masing. Oleh karena
itu, untuk mencapa perbaikan hidup, Plato pun memberikan sistem pembagian kerja
dalam masyarakat ke dalam tiga golongan yang ia analogikan dengan jiwa manusia.
Menurut Plato, ada kesamaan antara unsure-unsur yang ada di dalam jiwa dengan
negara. Dalam jiwa terdapat untuk keinginan, logos, dan semangat. Begitu pula
di dalam negara, unsure unsure ini mewakili pembagian kerja dalam masyarakat.
Penguasa, yang duduk sebagai golongan pertama, mengetahui segala macam hal.
Merekalah yang mewakili unsure logos. Golongan kedua yaitu golongan penjaga
atau pembantu penguasa hadir mewakili unsure semangat. Sedangkan golongan
ketiga yang didefinisikan sebagai golongan pekerja hadir untuk mewakili unsure
kainginan/nafsu. Masing-masing golongan ini memiliki fungsi dan saling
berinteraksi. Interaksi ini lah yang menjadi dasar adanya asosiasi yang menjad
pokok suatu negara. Masing-masing golongan inipun harus dapat melaksanakan
fungsi dan tanggungjawabnya agar tercipta keadilan menurut konsep Plato.
Selain
beberapa hal di atas yang dapat mendukung terwujudnya negara ideal menurut
Plato, ia juga mendeskripsikan bagaimana seharsnya kehidupan sosial dalam
masyarakat sehingga dapat mencapai negara ideal. Plato merumuskan suatu konsep
yang oleh Robert Nisbet disebut
sebagai nihilisme sosial. Nihilisme sosial ini dapat pula disebut sebagai
komunisme ala Plato. Bagi plato, demi terwujudnya negara ideal, maka kehidupan
masyarakat harus di dasarkan pada prinsip larangan atas kepemilikan pribadi,
baik dalam bentuk harta atau materi lainnya maupun istri dan anak. Menurut
plato adanya kepemilikan pribadi akan mengurangi dedikasi seseorang terhadap
negara dan menyebabkan adanya akumulasi kekayaan yang memicu kesenjangan
sosial. Selain itu, adanya kepemilikikan pribadi ini dapat menyebabkan
penyalahgunaan pemahaman tentang keselarasan yang mana keselarasan disini
justru dimaknai sebagai menyamakan kepentingan negara dengan kepentingan
pribadi. Begitu pula dengan perihal perkawinan dan anak. Plato menolak
perkawinan monogam. Istri menjadi milik kolektif.[4]
Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pencampuran kepentingan negara dan
pribadi. Kepemilikan akan anak pun demikian, anak dibiarkan dididik oleh negara
sampai pada akhirnya ia berilmu dan agar si anak ini menjadi sangat loya pada
negara. Konsep komunisme plato ini hanya terbatas pada golongan penguasa dan
pembantu penguasa saja. Kelas ketiga dibenarkan memiliki hak milik dan
berfamili hal ini dikarenakan merekalah yang bertugas untuk menyelenggarakan
perekonomian.
A.
ANALISIS
PEMIKIRAN PLATO
Setelah mengetahui intisari dari
pemikiran dua fisuf Yunani Kuno di atas, penulis memberikan beberapa analisa
sekaligus kritik terhadap beberapa pemikiran di atas yang dikaitkan dengan
pemikiran tokoh lain serta kondisi kekinian yang dihadapi bersama oleh masyarakat
hampir diseluruh dunia. Yang pertama akan penulis soroti adalah pemikiran plato
mengenai kriteria seorang pemimpin dalam negara idealnya. Telah dijelaskan
bahwa dalam satu negara yang ideal, pemimpin haruslah mereka yang memiliki virtue atau berilmu pengetahuan tinggi.
Pada dasarnya penulis setuju dengan pendapat ini, karena memang seorang
pemimpin haruslah mereka yang cakap dan mengerti tentang kondisi serta seluk
beluk, baik kondisi maupun masyarakat, yang dipimpinnya. Apalagi jika dikaitkan
dengan pendapat para pemikir Islam Klasik dari mulai Al Farabi hingga Ibn
Khaldun (kecuali Ibn Taimiyah), maka semua pemikir tersebut juga mensyaratkan
adanya dasar ilmu pengetahuan yang tinggi yang harus dimiliki oleh setiap
pemimpin. Lebih lanjut, Al Farabi sendiri menegaskan bahwa seorang kepala
negara harus memiliki akal tingkat mustafad
(acquired intellect) yang telah
dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, pengatur bumi ini.[5]
Sayangnya penulis melihat masih adanya ketidak sempurnaan persyaratan seorang
pemimpin menurut Plato. Plato hanya menekankan pada konsep The Philosopher
King, tanpa dijelaskan lebih lanjut mengenai bagaimana kondisi fisik yang
seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Penulis melihat bahwa kondisi fisik
seorang pemimpin ini menjadi hal penting lainnya karena seorang pemimpin
merupakan simbol sekaligus representasi dari apa yang ia pimpin. Apalagi di era
modern ini, sosok seorang pemimpin akan sangat menajdi sorotan tidak hanya di
dalam negerinya melainkan juga dalam hubungannya dengan negara lain. Dalam hal
kriteria seorang pemimpin penulis lebih setuju dengan persyaratan yang diajukan
oleh para pemikir Islam Klasik yang mensyaratkan kesehatan panca indra dari
seorang pemimpin. Bahkan dalam teori yang dikonstruksi oleh Al Mawardi, apabila
seorang pemimpin memiliki cacat pancaindra, maka umat boleh saja tidak taat
kepadanya. Menurut Al Mawardi kesehatan fisik seorang pemimpin ini akan
berpengaruh besar terhadap segala kebijakan atau tindakan yang akan ia perbuat
dalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya. Dikarenakan pentingnya kesehatan
seorang pemimpin yang tidak hanya dimaknai sebagai kesehatan rohani saja
melainkan juga kesehatan jasmani, di negara-negara modern saat ini, syarat
sehat bagi seorang pemimpin menjadi sangat penting. Dengan demikian menurut
hemat penulis, dengan menggabungkan pendapat Plato serta beberapa pemikir Islam
klasik tersebut, seorang pemimpin yang ideal adalah mereka yang memilii
kebajikan (ilmu pengetahuan) dan kesehatan jasmani karena dengan kesehaan jasmani
ini pemimpin dapat mengoperasionalisasikan pengetahuannya kedalam suatu
tindakan politik yang nyata, kebijakan pemerintah.
Selain mengenai syarat dari seorang
pemimpin di negara ideal, penulis juga melihat adanya kejanggalan tentang
konsep nihilism sosial menurut Plato. Plato menciptakan kondisi itu hanya untuk
golongan pertama dan kedua, sementara golongan ketiga dibiarkan untuk memiliki
hak milih termasuk untuk berfamili sekalipun tetap dalam batasan porsinya.
Namun disini penulis melihat bahwa pemikiran plato ini terlalu naïf dan utopis.
Menurut analisa penulis, Plato mengemukaka hal ini dikarenakan bagi Plato
konsep keadilan adalah berbicara tentang kewajiban bukan hak. Selain itu Plato
juga menilai bahwa ilmu (termasuk dalam urusan memikirkan negara digolongkan
dalam ilmu) erat kaitannya dengan amal. Dalam dunia nyata, tidak mungkin
seseorang di muka bumi ini tidak membutuhkan kompensasi. Apalagi mereka yang
berada di golongan satu dan dua adalah mereka yang dekat dengan akses terhadap
kekuasaan. Padahal kekuasaan sendiri identik dengan kompetisi untuk
mendapatkan, mempertahankan, dan merebut kekuasaan itu. Dengan demikian
pastilah ketika berbicara kekuasaan maka akan dengan sendirinya kita juga akan
berbicara tentang kompensasi apa yang disediakan baik kekuasaan itu sendiri,
maupun dalam bentuk lainnya. Jika dikaitkan dengan Konsep Tiga kebutuhan
menurut David McClelland, seorang
ahli Psikologi Sosial, yang
menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu membutuhkan Neef Of Achievements (n.Ach),
Need Of Power (n.Pow), dan Need of
Affiliation (n.Affi), maka konsep nihilism sosial Plato ini tidak sesuai.
Dilihat dari satu kebutuhan saja, n.Ach, maka setiap orang pada prinsipnya
membutuhkan adanya prestasi atau capaian. Prestasi atau capaian ini kemudian identik
dengan bagaimana pengakuan orang lain kompensasi atau penghargaan apa yang
didapatkan setelah seseorang berusaha. Dengan demikian, melihat kondisi riil
masyarakat saat ini, konsep nihilism sosial dan keadilan ala Plato tidak
sepenuhnya sesuai.
**If you have some question don't hesistate to ask via moulizadonna@gmail.com or give comment in this post. Thank you
[1]
McDonald. 1962. Western Political Theory
Part 1Ancient and Medieval. New York:Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Pg. 6
[2] Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 35-36
[3] Syam, Firdaus. 2007. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat,
Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm.
25-27
[4] Suhelmi, Ahmad. Op Cit. Hlm. 40
[5] Iqbal, Muhammad, et al. 2010. Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Prenadameda Group. Hlm. 13-49
0 komentar:
Posting Komentar