Tulisan ini dibuat dalam rangka Focus Group Discussion Kelompok Studi Pemerintahan Local FISIP UNDIP
Salah
satu agenda reformasi tahun 1998 adalah adanya Otonomi Daerah yang
seluas-luasnya. Hal ini tidak lain dikarenakan adanya keinginan untuk
menerapkan demokrasi yang murni di Indonesia. Dengan penerapan demokrasi ini,
maka rakyat menjadi kunci utama di dalamnya. Konsekuensinya haruslah ada
pemerintah yang berpihak kepada rakyat, mau mendengar dan mengikutsertakan
rakyat, dekat dengan masyarakat, serta memungkinkan rakyat mendapatkan akses
yang mudah untuk mengetahui transparansi secara lebih baik. Inilah yang disebut
dengan pemerintah daerah.
Setiap pemerintah daerah dipimpin oleh kepala
pemerintah daerah yang disebut kepala daerah. Kepala daerah untuk provinsi
disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan untuk kota adalah wali
kota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi
disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota
disebut wakil wali kota. Kepala dan wakil kepala daerah memiliki tugas,
wewenang dan kewajiban serta larangan.
Proses
pengisian jabatan kepala daerah ini pada awalnya dilakukan dengan cara
penunjukan oleh DPRD. Namun dewasa ini, proses ini dilakukan melalui mekanisme
pemilihan oleh rakyat yang disebut dengan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada)
yang sejak tahun 2005 Pemilukada adalah secara langsung. Dengan kata lain,
masyarakatlah yang menentukan, bukan lagi DPRD. Pemilihan
langsung kepala daerah ini pertama kali dilakukan di Indonesia pada tanggal 1
Juni 2005 pada saat pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kutai Kartanegara.[1]
Pemilukada
diartikan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat diwilayah provinsi
dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah. Mengenai pemilihan kepala dan wakil kepala
daerah ini telah diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, yang
berbunyi:
“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu
pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”
Sementara itu, tujuan
dari dilaksanakannya pemilukada antara sebagai pemutus rantai oligarki sebuah
partai di suatu daerah, meningkatkan kualitas serta akuntabilitas kepala
daerah dan wakil kepala daearah, serta mengurangi ketergantungan kepala daerah dan
wakilnya pada DPRD seperti yang terjadi pada zaman Orde Baru.[2] Selain hal terseut,
Pemilukada langsung ini juga menjadi stimulus munculnya elit politik baru di
tingkat lokal. Hal ini akan mendukung munculnya figur baru di tingkat lokal
dengan dukungan rakyat yang nyata, bukan sekadar tokoh yang diusung partai atas
rekomendasi DPP partai tersebut. Pemilukada Langsung pun akan meningkatkan
kualitas keterwakilan rakyat di daerah, menghasilkan pemimpin dengan legitimasi
tinggi, serta mampu mengurangi kemungkinan “main belakang” antara DPRD dan
kepala daerah. Hal ini pada dasarnya dilakukan sebagai bentuk demokratisasi di
kalangan masyarakat daerah.
Namun
pada kenyataannya, pemilihan langsung justru menimbulkan banyak sisi negative. Pilkada
langsung seharusnya dapat meningkatkan akuntabilitas dan aceptabilitas kepala
daerah. Namun jika kita lihat dari kondisi saat ini, terutama pada masyarakat
dengan kondisi ekonomi lemah, calon justru memanfaatkan kondisi ini untuk
mendulang perolehan suara masyarakat melalui politik uang. Konsekuansinya,
masyarakat yang seharusnya memilih calon dengan tindakan rasional berdasarkan
visi dan misi calon, sebagian justru memilih karena “siapa yang memberi uang
yang lebih banyak, dialah yang akan dipilih”. Dengan demikian pilkada langsung
yang sudah terkontaminasi oleh politik uang sama sekali tidak memberikan pendidikan
politik bagi masyarakat melainkan seolah memanipulasi partisipasi masyarakat
melalui sikap pragmatis itu.
Pilkada langsung juga dinilai sebagai upaya
penghamburan dana. Bayangkan saja, setiap kali diselenggarakan pemilu, maka
dana “pesta demokrasi rakyat” ini tidaklah sedikit. Untuk pilpres saja,
milyaran dana telah dihabiskan untuknya. Dengan adanya pilakada langsung ini,
akan berapa milyar lagi dana yang harus dialokasikan untuk pemilu di 497
kabupaten/kota dan 34 provinsi di Indoneisa? Pemilukada langsung ini juga
seringkali memunculkan actor baru dalam dinamika pemilukada, yaitu botoh (penjudi) yang pada akhirnya merangsang
kepala daerah melakukan tindakan korupsi sebagai bentuk balas jasa.
Kenyataan
inilah yang pada akhirnya memunculkan wacana pemerintah untuk mengembalikan
mekanisme pemilihan kepada daerah kepada DPRD. Pengembalian mekanisme ini salah
satunya untuk mengurangi konflik horizontal di tengah masyarakat, serta
mengurangi dampak negative pemilukada langsung. Lantas jika demikian, Masihkan diperlukan Pemilukada Langsung??
Mari kita mendiskusikannya bersama. (Mouliza)
[1] http://id.m.wikipedia.org/wiki/pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia
diakses pada Tanggal 16 Desember 2012 Pukul 09.34 WIB
[2] ibid
0 komentar:
Posting Komentar