Pagi ini entah apa yang merasuk dalam tubuh saya sehingga rasanya ingin sekali saya menyoroti tentang penddikan di Indonesia. Ditemani alunan lagu dari Kenny G (ya ini adalah lagu - lagu yang selalu menemani saya belaar dari jaman saya SD), segelas Teh Thailand yang dingin, alat tulis saya yang terdiri dari beberapa bolpoint warna wari;stabilo;dan beberapa sticky note, di dalam kamar kos yang cukup luas ini, saya tertarik untuk membaca buku yang berjudul Education Policy in Decentralization Era (Arif Rohman et all). Dalam buku ini ada satu hal yang sangat menggelitik "libido" saya untuk menulis tentang fenomena pendidikan di Indonesia.
Make a sense!
Mungkin, kita sama - sama pernah mendengar atau bahkan membaca karya sahabat Eko Prasetyo yang berjudul "ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH". Mungkin bagi sebagian orang ini hyperbola atau yang lainnya dengan alasan "Ada dana BOS, siapa saja bisa sekolah". Namun, apakah enar demikian?
Mungkin dana BOS membuat Orang miskin BISA SEKOLAH (SEADANYA). Ya, kenapa seadanya? karena pendidikan yang mereka peroleh juga masih tersandung infrastruktur yang kurang memadai, dari mulai akses jalan, fasilitas sekolah (buku, ruang kelas, hingga perpustakaan), bahkan yang paling miris adalah tenaga pendidik sekalipun. Bisa dilihat di harian Kompas edisi 8 November 2012 (saya pernah baca tentang ini) yang memuat sebuah artikel berjudul "Tak ada guru, Penjaga Sekolah pun jadi"
Namun, tahukan Anda bahwa sebenarnya pendidikan di Indonesia saat ini juga sebenarnya terlahir dari sebuah rekonstruksi pendidikan? Ya, pendidkan yang selama ini kita dapat (khususnya bagi generasi reformasi seperti saya) adalah hasil perbaikan dari yang sebelumnya (meskipun belum hingar bingar pembenahannya). Pendidikan di Indonesia telah mengalami perubahan kebijakan, dari yang tadinya sentralistik menjadi desentralistik dimana perubahan paradigma ini mendorong satuan pendidikan untuk dapat melakukan banyak perubahan menuju pada kondisi yang lebih otonom dan profesional. Jadi, satuan pendidikan bukan lagi sebaga sekrup - sekrup kecil yang berputar sesuai dengan keinginan mesin besar, pemerintah pusat. Karena tahukah Anda bahwa ketika hanya eprperan sebagai sekrup kecil, maka sebenarnya telah terjad
stupidifikasi lembaga pendidikan yang ditandai dengan
nojukphobia (ini istilah yang saya buat sendiri yang artinya adalah tidak bisa tidak berpaku pada juklak dan juknis).
Disisni lain, ternyata pergeseran kutub ini juga tidak berarti menafikan munculnya persoalan baru. desentralisasi pendidikan dalam kemasan baru yakni otomisasi pendidikan justru memunculkan fenomena baru yaitu Kapitalisasi pendidikan yang lebih menakutkan dari stupidifikasi. Secara negatif, kapitalisme pendidikan menganggap bahwa jasa pendidikan adalah komodities yang dapat diperdagangkan. Jasa pendidikan bukan diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan bangsa yang semakin beradab, namun untuk
Profit Motive Oriented. Akibatnya pendidikan seolah hanya mengakomodir kalangan elit tertentu.
Bahkan munculnya modifikasi pendidikan sebagai konsekuensi atas menguatnya kapitalisme pendidikan menjadi semakin jelas ketika bangsa - bangsa mulai terbuka dengan apa yang disebut dengan Perdagangan Bebas, khusunya mengenai GATS (
General agreement on Trade and Services) yang disepakati oleh negara - negara anggota WTO pada akhir Mei 2005. GATS mengatur liberalisasi perdagangan dalam 12 sektor jasa, yang salah satunya adalah mengenai pendidikan. Dengan demikian dengan sangat mudahnya jasa pendidikan dari luar dapat masuk ke Indonesia yang tentunya menimbulkan
High Cost in Education bagi Indonesia dan peningkatan PDB bagi negara eksportir jasa tadi. Bahkan tiga negara yang sangat diuntungkan dengan liberaisasi pendidikan ini adalah Amerika, Australia, dan Inggris.
Malangnya bagi Indonesia, seharusnya dengan dibukanya kesempatan Free Trade ini, Indonesia juga memilik celah untuk melakukan ekspansi pendidikan Indonesia, baik dari sisi teknologinya, budaya dan sebagainya ke berbagai penjuru dunia dan memperoleh keuntungan dari hal tersebut. Namun, sayang sekali, Indonesia sebaga sebuah negara besar dengan lebih dari 200 juta penduduk, hanya memiliki 14% dari total jumlah penduduk untuk tingkat partisipasi dalam pendidikan tinggi. Oleh karena itu, Indonesia menjadi incaran empuk negara - negara penyedia jasa pendidikan dan pelatihan. Selain itu, rendahnya perhatian pemerintah dalam hal peningkatan mutu pendidikan nasional juga membuat Indonesia tertinggal dari standar mutu internasional. Setidaknya dua alasan inilah yang dijadikan celah oleh negara lain bersedia "diundang" ke Indonesia untuk memberikan pelatihan dan pendidikan. Bahkan, China sampai - sampi meminta Indonesia untuk membuka pintu untuk penddikan kedokteran China.
Dari hal tersebut bisa dilihat bahwa, seandainya saja Indonesia bisa mengekspor tenaga pendidiknya ke luar negeri dengan memanfaatkan perdagangan bebas yang telah disepakati, betapa banyak peningkatan PDB yang akan kita rasakan. Pastinya hal ini akan menguntungkan pendidikan domestik, karena kita tidak perlu membayar mahal untuk pemenuhan pendidikan. Semua rakyat bisa sekolah tanpa ada batasan maksimal jenjang pendidikan. Semua murah, bahkan gratis. Semua pintar, bahkan mengajari bangsa lain. Bangsa ini akan lebih terhormat. Tidak ada lagi Orang Miskin yang tidak bisa sekolah. Karena Semua bisa sekolah dan tidak miskin.
Namun, kembali lagi, kita harus lihat Behavioral Approach-nya. Kalau ada Korupsi, maka semua hancur.
Inilah sepenggal curahat hati saya mengenai pendidikan di Indonesia. Semoga bermanfaat. Dan bagi teman - teman yang merasa membutuhkan tulisan-tulisan saya, tolong cantumkan link blog saya di daftar referensi teman - teman yah. Saatnya menyantap bubur ayam yang mulai mendingin.